“Di
tengah arus globalisasi dan semakin maraknya pesantren modern,
pesantren ini justru masih sangat setia dengan tradisi salafiyah, yaitu
memakai dan menggunakan rujukan kitab kuning dalam belajar dan mengajar
mereka.”
Ya,
inilah kondisi real yang terjadi di Pesantren Al-Baqiyatussholihat
Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Mereka masih setia dengan konsep yang
ditawarkan oleh Walisongo dulu. Namun, bukan berarti sistem pelajaran
yang diberlakukan di sini full-salafiyah semata. Mereka tetap mengadopsi
pengetahuan-pengetahuan modern yang dianggap pantas. Hanya saja, kitab
rujukan utama mereka tetap kitab kuning.
Mereka menganut kaidah fikiyah, Al-Muhafadzah ‘ala Qadiimi al-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadiid al-Ashlah (memelihara konsep lama yang baik sambil menggali konsep baru yang lebih baik tanpa menghilangkan konsep lama).
Sebagai salah satu pesantren tua di Bekasi, Pesantren Al-Baqiyatussholihat memiliki sejarah yang sangat panjang. Menurut KH.R. Jamaluddin Nawawi
(38 th), pesantren ini berdiri karena kondisi sosial masyarakat saat
itu (pra kemerdekaan), yang seakan-akan ingin membangun dirinya lewat
ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, eksistensi pesantren sangat
dibutuhkan karena kondisi sosial masyarakat yang miskin ilmu pengetahuan
dan pegangan hidup.
Maka sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan Islam, KH. Raden Anwar yang pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari ini, mengutus anaknya yang bernama Raden Ma’mun Nawawi
untuk belajar agama di pesantren. Maka satu-persatu pesantren
disambangi untuk digali ilmunya, mulai dari Pesantren KH. Hasyim Asy’ari
di Jawa Timur, Pesantren Syekh Ihsan Jampes (Pengarang Kitab Siraj al-Thalibin) di Kediri, hingga Pesantren Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered, Sempur, Bandung. “Saking pinternya, ayah saya yakni Raden Ma’mun Nawawi diangkat
mantu oleh Kiayi Tubagus saat itu,” ujar KH. R. Jamaluddin Nawawi, yang
tidak lain merupakan putra KH.R.Ma’mun Nawawi dan pengelola pesantren
sekarang.
Nyantri Raden Ma’mun Nawawi tidak berhenti sampai di situ. Setelah itu, beliau belajar lagi ke Pesantren Syekh Mansyur (pengarang Sulam al-Nairen) di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sulam al-Nairen
berisi tentang ilmu falak. Oleh Raden Ma’mun Nawawi kitab ini mampu
dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja. “Beliau memang cerdas
orangnya,” ujar KH.R.Jamaluddin. Bahkan, menurutnya, saking cerdasnya,
dalam usia 19 tahun, sang ayah sudah menghafal 30 juz al-Qur’an. Dari
Jembatan Lima, Raden Ma’mun Nawawi belajar ke Makkah al-Mukarramah,
untuk berguru kepada orang-orang yang pintar di sana.
Setelah
dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah
Islamiyah, Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri
untuk mendirikan pesantren di Pandeglang, Banten. Namun, sekitar dua
tahun kemudian, beliau diminta oleh ayahnya, KH.Raden Anwar untuk
kembali ke habitatnya di Cibogo, Cibarusah, untuk mendirikan pesantren.
Atas biaya sang ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatussholihat
pada tahun 1938. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang ikut gabung ke
Pesantren Al-Baqiyatussholihat ini. “Jadi, pada tahun pertama hampir
sebagian besar santri di sini didominiasi oleh orang-orang Banten,” ujar
KH. Jamaluddin.
Pada
masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri
dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai
Pesantren Ilmu Falak (Hisab). Ketika berbicara masalah pesantren
ini, maka yang muncul adalah Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika
pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah
perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah
falakiyah juga masih diajarkan di sini. KH. Jamaluddin lalu menunjukkan
contoh almanak berdasarkan perhitungan falakiyah yang masih menggunakan
oret-oretan tangan. “Dari dulu hingga sekarang, modelnya ya kaya gini,”
ujarnya.
Kini,
di usianya yang sudah 73 tahun, pesantren yang berdiri di atas tanah
2995 m2 ini masih tetap eksis dan setia dengan tradisi lamanya, yaitu
mengajarkan kitab kuning kepada para santri putra dan putrinya, baik
ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah), ilmu faraidh (waris), ilmu fikih,
falak (hisab), tauhid dan sebagainya. Salah satu santrinya yang
berkali-kali tampil di televisi adalah KH. Yahya Anshori di Kalideres. Bekas santri lainnya yang masih eksis adalah Kiayi Utsman di Citeureup dan sebagainya.
KH.R.Ma’mun
Nawawi meninggal dalam usia 63 tahun (1912-1975). Selama hidupnya
beliau pernah menulis nadzaman ilmu falak sebanyak 63 bait dan
menghasilkan setidaknya 63 kitab. “Angka-angka ini seperti kebetulan
saja,” ujar KH.R. Jamaluddin yang merupakan keturunan ke-11 dari Maulana Hasanuddin dan ke-24 dari Rasulullah ini. Sebagian kitabnya dijual di Toko Arafat Bogor, seperti Kasyful Gumum wal Gumum (tentang doa), Hikayatul Mutaqaddimin (tentang kisah-kisah ulama dahulu), Idho’ul Mubhamat (tentang rumus-rumus akumulasi dari kitab-kitab yg mengandung akronim) dan sebagainya.
Makam
KH.R.Ma’mun Nawawi berada di sekitar pesantren dan seringkali
dikunjungi orang baik dari Banten atau Bogor, khususnya pada bulan
Maulid. Pada masa hidupnya beliau pernah berjuang bersama KH. Nur Ali
(Pahlawan Nasional) dalam gerakan Hizbullah. “Kalau KH. Nur Ali bidang
militansinya, sedang ayah bidang Bintal (Pembinaan Mental)-nya,” ujar
KH.R.Jamaluddin Nawawi. Dan atas jasanya tersebut, nama beliau dijadikan
nama jalan.
Dalam
akhir wawancaranya, KH.R.Jamaluddin berpesan agar kita sebagai umat
Islam punya kepedulian yang tinggi terhadap eksistensi pesantren. Sebab,
wadah inilah yang telah teruji selama ratusan tahun sebagai soko guru
pembinaan ilmu dan moralitas bangsa. Salah satu caranya adalah agar
orang tua berkenan memasukkan anak-anaknya ke pesantren untuk diajarkan
ilmu agama.
Eep Khunaefi/Dimuat di Hidayah edisi 113
Sumber:
http://epholic.blogspot.com/2011/01/ponpes-al-baqiyatussholihat-cibarusah.html
Comments
Post a Comment